Berbagi Dalam Kebaikan

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar


Oleh:Pipit Senja
Obituari: Ustazah Yoyoh Yusroh Mujahidah Masa Kini
Suatu siang, April 2008
Bermula dari pesan singkat Ustazah Yoyoh Yusroh, mengundangku untuk jumpa di kantornya, gedung DPR, Nusantara Bhakti 2. Kupikir, Mbak Yayu, istri Presiden PKS (ketika itu) Tifatul Sembiring yang telah menyampaikan pesanku kepada beliau.
Beberapa bulan sebelumnya, Ustazah Yoyoh Yusroh telah mengamanahi kami (Anneke Puteri, aku dan kawan-kawan) wakaf sebidang tanah di Depok Timur untuk gedung Taman Baca. Proposalnya siang itu kuserahkan kepada sosok itu, seorang muslimah yang telah lama kukenal kisah perjuangannya dari teman-teman liqo. Namun, baru beberapa kali saja bertemu muka secara langsung, dan bisa berbincang akrab.
“Boleh saya curhatan, Umi,” ujarku usai urusan proposal.
Kusadari bahwa ini spekulasian, selain hanya terkait urusan pribadi, bisa jadi sebagai sikap lancang terhadap seorang anggota MPR/DPR RI. Duh, maafkan daku, Umi cinta!
“Oh, boleh… Ada yang bisa saya bantu, Teteh?”
Aku merasai benar aura keramahan, kebersahajaan dan ketulusan memancar dari sosok yang telah banyak menjadi panutan kaumku perempuan. Dalam sekejap aku merasa dapat mempercayai sosok ini, maka kutitipkan sebagian beban nestapaku. Bahwa ada masalah besar, kemelut dalam rumah tangga, sehingga aku dan anak-anak harus memutuskan untuk hijrah dari rumah yang selama ini kami tempati.
Beberapa detik berlalu, aku menanti dalam debar harap, dan membuang jauh-jauh gengsi, segala tetek bengeknya itu. Ternyata sosok keibuan ini telah menghadiahiku satu hal. Bahwa aku dan anak boleh menempati rumahnya yang kosong. Saat itu juga Ustazah Yoyoh langsung menelepon Mbak May, orang yang selama ini diamanahi memegang kunci rumahnya.
“Silakan, Teh.. kapan pun Teteh siap, boleh menempati rumahnya,” katanya dalam nada yang ikhlas dan serius. “Rumah itu memang sudah lama kosong.”
“Duh… Umi… bagaimana saya mengucapkan terima kasih,” tergagap-gagap mulutku bahna haru.
Umi Umar, demikian sebutannya di kalangan liqo kami, seketika menggenggam kedua tanganku, mengalirkan semangat dan kekuatan melalui jari-jemarinya yang hangat dan lembut.
“Kita ini bersaudara, Teteh… saya paham masalah Teteh. Banyak sekali ibu-ibu, istri yang mengalami hal seperti ini.”
Siang itu betapa banyak pelajaran berharga yang bisa kupetik. Pertemuan dengan seorang ibu yang memiliki karier luar biasa, sebuah keluarga sakinah, ibu dari 13 anak yang penuh welas asih, duhai!
Beberapa jenak kami masih berbincang tentang berbagai hal, karya, dakwah dan cintanya terhadap anak-anak dhuafa. Kemudian aku diajaknya melihat-lihat ruangan di sebelah menyebelah.
“Ini dia ruang sidang komisi delapan,” ujarnya ketika kami berdua memasuki sebuah ruangan luas.
“Pernah saya menulis lakon anggota dewan. Setingnya, yah, syukurlah tidak jauh-jauh amat. Jadi merasa tenang, tidak ngapusi pembaca,” kataku sambil menahan tawa, betapa diriku sebagai penulis suka mengembangkan imaji liarku ke mana suka.
“Teruslah menulis, Teteh,” kembali kurasai genggaman hangatnya di telapak tanganku.
“Boleh minta endorse nanti untuk buku yang sedang Teteh sunting, ya, Umi?” pintaku serius.
“Insya Allah dengan senang hati, Teteh.”
Maka, aku telah menerima janjinya tersebut untuk buku memoarku; Dalam Semesta Cinta. Endorsenya kupajang di kover depan sbb: “Membaca buku ini membangkitkan semangat kami untuk banyak merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang alpa dari ingatan kami. Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami melalui penamu yang tajam.” (Ustazah Yoyoh Yusroh)
Tak berapa lama kemudian, Ustazah Yoyoh menawariku makan bersama. Karena makanannya telah tersedia, meskipun sungkan, akhirnya kuterima ajakannya. Maka, kami berdua makan siang di ruang kerjanya. Beberapa rekannya sesama anggota Dewan atau mungkin stafnya, melintas, saling menyapa. Mungkin mereka heran juga;” Siapa itu yang numpang makan dengan Bu Yoyoh?”
“Baiklah, sekarang Teteh pamitan, ya Umi.”
“Oh, jangan pulang sendirian. Kita sama-sama pulangnya kan searah ke Depok. Sebentar, ya, Teteh,” ujarnya sambil menghubungi seseorang yang ternyata adalah suaminya, Pak Budi Darmawan.
Saat itu sedang ada demo di pintu gerbang gedung MPR/DPR RI. Jadi, mobilnya diarahkan dari bagian belakang. Rasanya bak mimpi saja. Berjalan bersama sosok yang sering disebut-sebut dan dibanggakan oleh Helvy Tiana Rosa. Ya, dia dengan tulus masih meluangkan waktu, bersama Pak Budi, mengantarku sampai kawasan Kalibata.
“Maafkan, ya Teteh, tidak bisa mengantar sampai Depok. Kami langsung ditunggu acara pengajian di rumah.”
“Duh, tidak apa-apa, ini sudah sangat merepotkan, terima kasih, ya Umi, sampai jumpa…” ujarku lirih sebelum kami berpisah, sementara mataku terus-menerus membasah.
“Ya, sampai jumpa. Istiqomah selalu, ya Teh, assalamualaikum…”
Tidak hanya itu, Pak Budi meluangkan waktunya untuk turun dan mencegatkan sebuah taksi, bahkan memberikan ongkosnya pula kepada sopir taksi hingga ke Depok.
Subhanallah, pasangan suami-istri yang sungguh luar biasa dalam urusan keikhlasan berbagi.
Sebuah beban telah terangkat dari bahu-bahuku, segera kukabari hal ini kepada anak-anak. Petang itu pun kami langsung boyongan ke rumah besar, bersebelahan dengan sebuah mesjid. Inilah kawasan Yayasan Ibu Harapan.
Sejak saat itu hingga empat bulan kemudian, aku dan dua anak serta seorang menantu yang sedang hamil, menempati rumah milik Ustazah Yoyoh Yusroh. Begitu banyak nikmat dan hikmahnya selama menempati rumah idaman, demikian Butet menyebutnya. Sebuah rumah megah bercat putih-krem, tiga lantai dan perabotan yang lengkap.
Tiap hari Minggu, setelah sholat subuh berjamaah, aku bisa mengikuti kuliah subuh yang dipimpin langsung oleh Ustazah Yoyoh Yusroh. Ketika itulah taklimnya kedatangan seorang tamu istimewa dari Arab Saudi, yakni; Yusuf Qardhawi.
Gemetar rasanya bisa melihat dan berbincang sekilas dengan penulis besar itu. Meskipun komunikasi dijembatani oleh Ustazah Yoyoh Yusroh yang fasih bercakap bahasa Arab. Ya, berkat kedekatan dengan Umi Umar yang selalu murah senyum ini, semuanya itu bisa terjadi.
Suatu hari, seorang asistennya menyampaikan titipan dari Ustazah Yoyoh. Sebuah amplop tebal, begitu kubuka ternyata berisi sejumlah uang. Aduh, betapa malu diri rasanya hatiku. Sudah ditampung di rumahnya, bukannya bayar uang sewanya, malah menambah beban saja.
Awalnya, kukira hanya akan sekali itu saja, karena kebetulan aku harus ditransfusi. Namun, ternyata pada bulan berikutnya pun ada titipan serupa melalui asistennya.
“Umi, mohon tidak memberi sumbangan terus, buat Teteh. Bukankah Umi juga sedang mencari dana untuk anak-anak dhuafa,” kataku via SMS.
“Insya Allah rezeki-Nya akan mengucur deras untuk anak-anak, Teteh. Terimalah, itu kan rezeki Teteh juga untuk beli obat,” balasnya.
Subhanallah, alhamdulilah. Dan memang rezeki terus mengalir, selama tinggal di rumah idaman itulah; aku digratiskan pergi Umroh oleh Travel Cordova, Haekal yang baru lulus mendapatkan pekerjaan tetap, Butet mendapat beasiswa dan pertukaran pelajar ke Banjarmasin, Seli dinyatakan positif hamil anak pertamanya.
Sungguh, betapa indah simpul persaudaraan yang diulurkan oleh Ustazah Yoyoh Yusroh kepadaku dan anak-mantu. Kutahu, kepada jamaah taklimnya di pelosok Tanah Air pun dia melakukan banyak kebaikan, kemuliaan yang agung dan tanpa pamrih. Bahkan ketika sedang mengandung tua pun masih jua menempuh perjalanan jauh, demi menyampaikan sumbangan untuk korban gempa dan tsunami.
Sosok muslimah yang satu ini, memang bukan sekadar seorang ibu dari 13 anaknya yang semuanya hafidz Al Quran, seorang istri shalehah yang kerap menawarkan suami tercinta untuk beristri lagi.
Tidak hanya itu, muslimah perkasa yang selalu berpenampilan bersahaja inipun adalah; sosok mujahiddah luar biasa untuk masanya. Ketangguhannya, keimanannya, dan keistiqomahannya melebihi para pahlawan perempuan yang pernah lahir dalam sejarah Indonesia.
Kini, engkau telah pergi untuk selamanya, 21 Mei 2011, Mujahiddah.
Namun, kami senantiasa mengenang segala ketulusan dan keikhlasanmu dalam berbagi ilmu, rezeki dan waktu, masa-masa emasmu yang seharusnya untuk keluarga.
Engkau tidak pernah mementingkan diri sendiri, melainkan jamaah, ummat yang diutamakan.
Selamat jalan, Muhajiddah kami tercinta, duhai…
Hanya jannah-Nya jualah yang pantas untuk tempatmu.
Semoga kita masih dapat jumpa, Saudariku cinta, Ustazah Yoyoh Yusroh. (Pipiet Senja)

Leave a Reply