Dimana kita sebagai warga yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun hanya asyik menjadi penonton, bukan pemain. Bahkan, untuk lebih “keras” kita ibarat ayam yang mati dilumbung padi. Menyedihkan bukan? Memang, kita tidak bisa hanya menjadi pihak yang asyik mempersalahkan orang lain atas terpuruknya ekonomi sebagian besar masyarakat muslim. Kita perlu tanyakan mengapa kita seperti ini?, kita perlu lihat kedalam untuk koreksi diri. Mengapa kita bangga disebut sebagai Negara kaya, jika yang menikmati adalah mereka, mengapa kita bangga disebut sebagai zamrud khatulistiwa kalau zamrud itu hanya mampu jadi bahan cerita, tapi mereka yang mengelola. Mengapa kita bangga disebut sebagai negara yang menjunjung tinggi asas toleransi, jika toleran itu kita artikan dengan membiarkan orang lain menjarah rumah kita. Apa karena kita lemah atau mereka yang terlalu kuat? Apa seharusnya yang membuat kita bangga? Seperti apakah simbol kebanggaan itu?....sedikit contoh bahwa kita bangga dengan sesuatu yang bukan milik kita. Bangga disebut sebagai kota ikan, tapi kita hanya dapat amisnya saja. Pantaskah kita berbangga? Bangga disebut sebagai kota sagu, tapi sagu kita mereka yang punya, kita hanya dapat bau ampasnya saja?. Pantaskah kita berbangga? Bangga dengan julukan daerah penghasil kertas terbesar di asia tenggara, tapi kita dapat banjirnya, mereka yang curi kayu-kayu kita. Pantaskah kita berbangga? Katanya diatas minyak, dibawah minyak. Bahkan di spanduk-spanduk pemprov tidak segan-segan mencantumkan mesin pemompa minyak kita, tapi kita hanya dapat gambarnya saja. Mesinnya mereka yang punya, lebih-lebih minyaknya. Pantaskah kita berbangga?.... Saking ketergantungannya kita karena tidak mandiri secara ekonomi. Kita rela berdesak-desakan bahkan tidur seperti tumpukan manusia buangan ketika pulang liburan. Hanya karena pemilik kapal cuti 3 hari merayakan lebarannya. Kapal tidak berjalan. Dimana izzah kita, tidak malukah kita pulang kampung harus curi-curi melepaskan diri dari mahalnya ongkos pulang dengan cara menyelinap sana-sini. Ironisnya lagi, penjaga karcis adalah saudara kita juga, tapi yang mengangkang diatasnya adalah mereka. Belum sadarkah kita?.... Itulah penjelasan saya kepada teman saya tadi mengapa saya punya pemikiran seperti itu, karena bagi saya izzah kita belum tegak, kebanggaan kita belum layak, rumah kita belum tegak, dominasi mereka bikin muak. Maka sekat-sekat itu mesti kita dobrak, dan itu bisa dilakukan jika berangkat dari pemikiran yang benar dan visioner. *Penulis adalah aktivis KAMMI UIN dan Kader FKII Asy-Syams UIN SUSKA Riau