“Anak-anak, ini Kak Cahaya yang akan
mengajarkan kalian untuk sementara.” Umi
Aida guru mengaji kami mengenalkan wajahyang belum pernah kutemui di Desaku.
Perempuan itu tersenyum. Dari kedua
bola matanya menyuluhkan teduh. Nur Cahaya seseorang yang hanya kukenal dalam
puluhan hari. Seorang Mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di Provinsiku.
Keberadaannya di Desaku adalah untuk melaksnakan KKN.Kak Cahaya, begitu aku
memanggilnya. Kehadirannya membawa segelas mimpi untuk mengisi ruang jiwaku
yang hampa.
Aku Fatimah, gadis kecil yang
menyeduh serapah dan melumat maki yang selalu keluar dari seorang lelaki paroh
baya yang berstatus Ayah kandungku. Jika ada yang mengatakan ada Ayah yang
membenci anak kandungnya sendiri, maka akulah salah satunya. Ayah
membenciku, aku bisa melihat kebencian
itu dari tatapan ke dua bolo matanya. Ia begitu jijik denganku hanya karena aku
gadis pincang yang tak pernah ia inginkan lahir ke dunia ini, sangat berbeda
dengan kedua orang Kakakku yang hampir sempurna. Sebagai orang cukup terpandang
di Desaku tentu Ayah sangat malu memilki anak sepertiku. Hanya peri yang
kupanggil ibu yang mengepakkan sayapnya untuk melidungiku, namun peri itu
terbang ke langit saat seragam putih dongker masih membungkus tubuhku. Dan aku
tertimbun oleh pedih.
“Kau itu anak tidak berguna.”
Kembali kuterima makian Ayah saat aku ingin
melihatkan ulanganku yang mendapatkan 90 kepadanya, tapi baru sebaris kalimatku
bergetar ia terlebih dahulu menyemburku dengan sumpah serapah seperti biasa
yang ia lakukan kapadaku. Membuat perih di hatiku menggumpal. Namun aku ingat
nasehat-nasehat Ibu.
“Fatimah harus buat Ayah bangga
memiliki anak seperti Fatimah, Ibu yakin ada ruang cinta dihati Ayah untuk
Fatimah, hanya saja ruang itu masih kelam Nak.” Nasehat Ibu setiap kali aku
mengurai air mata setelah menadapatkan makian dari Ayah. Dan nasehat yang sama
juga kudapatkan dari wanita bermata teduh itu.
“Kakak yakin adik pasti bisa! Ia
menguatkanku saat aku hampir rapuh.
Nur Cahaya ia menjelma menjadi peri yang mengepakkan sayapnya untuk
melidungiku sama seperti yang pernah Ibu lakukan untukku. Hanya dia lah
satu-satunya orang yang menggap kehadiranku ada di dunia ini setelah Ibu pergi
ke langit. Sedangkan Kakakku. Jannah dan Miftah entahlah tak pernah kutemukan
cinta dimata mereka seperti aku yang melihat pancaran cinta di mata Kak cahaya.
“Sukses itu milik semua orang dik.”
Ia kembali menguatkanku saat aku mulai meragukan kemampuanku untuk meraih
mimpiku karena aku hanya lah seorang gadis pincang.
“kakak yakin suatu hari nanti Kakak
akan melihat kesusksesan Fatimah.” Ia meyakinkanku dengan sorot mata teduh yang
membuat aku nyaman berada di sampingnya.
Dan nasehatnyalah yang kemudian yang
membawa aku lulus di salah satu Universitas Negeri di Propinsiku dengan beasiswa
dan aku mulai mampu menyentuh hati Ayah. Membuka kelam tempat ruang cintaku
tersimpan saat kubawa selembar bahagia untuknya.
“Maafkan Ayah Nak.” Ia merangkulku
ke dalam pelukannya untuk pertama kalinya disepanjang napasku dengan isak sesal
yang bergemuruh. Membuat sesak diujung mataku tak mampu kubendung. Setelah
kurasakan cinta Ayah mengalir segera ku pencet no hp Kak cahaya, tak sabar
rasanya aku membagikan sejuta bahagiaku untuknya dengan rindu yang membahana
karena sudah hampir sebulan tidak ada komunikasi diantara kami karena aku takut
menggagu konsentrasinya yang sedang menyusun skripsi.
“Assalamu’alaikum.” Jawab suara di
seberang sana.
“Maaf Pak, bisa bicara dengan Kak
Cahya?” Tanyaku saat mendengarkan suara laki-laki yang menjawab teleponku.
Hening.
“Maaf Pak, bisa bicara dengan Kak
Cahaya?” Tanyaku lagi.
“Cahaya telah pergi.” Jawab suara
itu mendung.
Aku diam seperti ada ribuan duri
yang menusuk-nusuk hatiku saat mendengarkan uraian cerita tentang kecelakaan
yang menimpa Kak Cahaya dua minggu yang lalu. Nyawanya tidak tertolong.
Kulihat mentari yang mulai
menyembunyikan wajah bulatnya di antara awan-awan jingga yang berserakan di
kaki langit. Kak cahaya telah berada di langit sana menemani Ibu ketika belum
sempat kulihatkan separuh mimpi telah kurangkul. Tak kan pernah kutemui lagi
mata teduhnya yang membuat aku nyaman berada di sampingnya.
“Kak, lihatlah aku bisa sukses.”
Ujarku penuh sesak dengan linangan air mata luka.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar...Allahu Akbar
Adzan magrib berkumandang di surau
ini. Surau pertemuan kami dalam puluhan hari. Aku melangkahkan kaki memasuki
surau yang masih kurasakan sejuknya mengalir. Merangkai juta’an doa untuknya.
Wanita bermata teduh.
“Selamat jalan kak, semoga kau
selalu bahagia disana.” Akhirku pilu.