Berbagi Dalam Kebaikan

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar






Oleh: Afra Nisa
Hatiku hancur mendengar semua penjelasan pak Yudi, pengacara papa. Apa maksud semua ini. Aku sungguh tidak mengerti.
“Rana, kamu harus bisa menerima semua ini, walaupun cuma satu ayah dia tetaplah adikmu Rana,” ujar pak Yudi berusaha memberi penjelasan padaku.
Cukup sudah aku kehilangan kedua orangtuaku di usiaku yang semuda ini.  Apakah bebanku harus bertambah dengan mengasuh dia? Tatapan mata polos tak bersalah itu menatapku penuh harap.
“Rana, kenalkan...ini Aisya, anak papamu dengan tante Ratih,” lanjut pak Yudi.
Aisya, gadis itu menatapku polos. Sejak tadi angannya memainkan ujung kerudungnya. Umurnya sekitar 15 tahunan, sejak tadi dia tampak ketakutan. Akhirnya aku luluh juga, tatapan matanya mampu mencairkan hatiku.
“Ya sudah, aku akan berusaha menjaganya,” ujarku akhirnya.
“Kalau begitu bapak pergi dulu, besok kamu bisa langsung ke kantor papamu”.
Aku mengangguk, menatap pilu kepergian pak Yudi. Sekarang tinggal aku dan gadis itu. Dia menatapku takut-takut. Kuhempaskan badanku di sofa yang ada di ruang tamu rumah ini. Sungguh, aku syok dengan kenyataan ini. Aisya masih berdiri di sebelahku, tangannya masih memainkan ujung kerudungnya.
“Kamu bisa berhenti memainkan ujung kerudungmu itu!” bentakku.
             Dia tampak terkejut dan langsung menghentikan gerakannya. Dia semakin terlihat ketakutan.
“Baik, kamar kamu di sana,” tunjukku pada sebuah kamar yang ada tepat di bawah tangga,”Kamu bisa beristirahat di sana”
Dia mengangguk dan dengan segera berjalan menuju kamar itu. Aku sengaja memberikan kamar itu untuknya, biar dia tidak terlalu ngelunjak di sini. Hatiku benar-benar sakit, tidak kusangka papa bermain di belakang mama. Sungguh hebat, 15 tahun usia gadis itu, sampai akhir hayatnya pun mama tidak mengetahui kehadirannya. Aku sungguh tidak bisa memaafkan hal ini. Tidak terasa air mataku menetes, mengapa cobaan ini terasa begitu berat bagiku?
***
Aku terdiam di meja makan, begitupun dengan Aisya. Dia masih tampak takut-takut menggigit roti di tangannya.
“Ini handphone untukmu,” ujarku dingin,”Aku akan mengantarmu ke sekolah pagi ini, nanti kalau kau sudah mau pulang kau bisa menghubungiku,” lanjutku.
Aisya mengangguk, tangannya bergetar menerima barang pemberianku.
Aku diam sepanjang perjalanan, begitupun dengan Aisya. Dia hanya menunduk, sementara aku fokus pada jalan. Aku sungguh tak berminat untuk mengobrol dengannya.
Akhirnya sampai juga di depan pintu gerbang sekolahnya. Aku diam tak bergeming.
“Makasih kak...Sya senang kakak mau mengantar Sya ke sekolah,” ujarnya lirih dan berlalu dari hadapanku.
Sepanjang perjalanan ke kantor aku termenung mengingat ucapannya tadi. ‘Kakak’, sebuah kata yang aneh menurutku. Bertahun-tahun aku hidup sebagai anak tunggal dan sekarang aku menjadi kakak, jujur aku masih belum mampu menerima semua ini.
Pak Yudi menyambutku dengan sumringah. Dengan sigap dia langsung memperkenalkanku sebagai pengganti papa kepada semua karyawan. Hampir saja titik-titik bening meluncur dari pelupuk mataku, untung saja aku masih bisa menahannya. Sekarang aku benar-benar merasa sendiri.
***
Aku tidak tahu apakah papa bangga padaku atau tidak, sekarang aku terdiam di dalam kantornya. Duduk di kursi yang biasa didudukinya. Memang masih asing bagiku, entah sampai kapan aku akan bisa bertahan.
Lamunanku tentang papa terpecah oleh getaran handphone di saku blazerku. Segera kuambil, sebuah pesan. Ternyata dari gadis itu, dia sudah mau pulang. Kulirik jam di pergelangan tanganku, sebentar lagi memang istirahat siang. Kutarik napas panjang, semoga aku bisa mengahadapi semua ini.
***
Kuperhatikan setiap anak yang keluar dari pintu gerbang itu. Belum kulihat batang hidung Aisya. Kesabaranku hampir habis, tadi dia bilang akan pulang. Sudah sepuluh menit aku menunggu di sini, tampaknya dia mau mempermainkanku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi saja dari tempat itu, sekedar memberi pelajaran untuk gadis yang tidak tahu berterima kasih itu.
Hampir gelap aku baru menginjakkan kaki di rumah. Sepi, apakah Aisya belum pulang? Rasa khawatir hinggap di hatiku. Walaupun dia saudara tiriku, tapi dia tetaplah tanggung jawabku.
Kubuka pintu kamarnya. Kosong, keringat dingin mulai kurasakan. Kemana dia? Apakah dia belum pulang? Aku mulai kebingungan.
Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya. Setengah berlari aku masuk ke dalam mobil. Tapi, kemana aku harus mencarinya? Tidak satupun nomor temannya yang kupunya. Rasa kesal itu akhirnya sampai ke ubun-ubunku. Mengapa dia harus bersamaku? Sekarang dia menjadi masalah bagiku.
Akhirnya kuputuskan untuk mencari di sekitar sekolahannya. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku lumayan khawatir, karena kurasa dia belum terlalu mengenal daerah ini.
Kuperhatikan setiap detil yang kulalui menjelang ke sekolah Aisya. Tapi, wajahnya belum juga kutemukan. Sekarang aku tepat berhenti di depan sekolahnya. Kulihat sekeliling, bola mataku berputar-putar mencari sosoknya.
Lama juga aku memperhatikan tempat ini, hingga akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah halte yang berada tidak jauh dari pintu gerbang sekolah. Kulihat di sana sesosok gadis berjilbab bertopang dagu, ada gurat kecemasan di wajahnya.
Setengah berlari kuhampiri dia...
“Aisya!Panggilku setengah berteriak.
Mata beningnya beralih menatapku. Entah kekuatan apa yang membuatnya berlari dan langsung memelukku. Kontan saja aku terkejut dan berusaha melepasakn pelukannya.
“Kau kemana saja?” Tanyaku setengah membentak.
Dia tampak ketakutan, kulihat selaksa bening yang mengalir dari pelupuk matanya.
Kuatur napasaku, kocoba untuk bertanya dengan lebih lembut.
“Dari tadi siang aku menunggumu di sini”
Dia masih tampak ketakutan. Tapi, bibir mungil itu akhirnya mengeluarkan suara juga.
“Ma...Maaf kak, tadi Sya dipanggil kepala sekolah dulu jadi agak terlambat keluarnya, sebenarnya tadi siang Sya sudah berusa memanggil kakak, tapi mobil kakak pergi begitu cepat,” ujarnya menjelaskan dengan suara serak.
Aku termenung. Hening...jadi dari tadi siang dia menungguku di sini. Kuperhatikan wajahnya, pucat. Kurasa dia belum makan apa-apa, terlihat gurat kelelahan di sana. Hatiku yang sempat kesal perlahan mencair melihatnya.
Lama aku menatapnya hingga kemudian secara refleks aku memeluknya. Dia terisak dalam pelukanku. Kurasakan kehangatan di sini.
“Seharusnya tadi kau menelepon kakak...,” ujarku akhirnya.
Entah kenapa aku mulai suka dengan kata-kata itu. Panggilan kakak, aku mulai merasakan kedamaian dengannya.
Di tengah isakannya dia berkata,”Sya takut kak, takut kalau kakak marah. Makanya Sya tidak berani menghubungi kakak. Sya bingung, akhirnya sya hanya duduk saja di halte itu”
Oh adikku...maafkanlah kakakmu ini, ujarku dalam hati. Es itu perlahan-lahan mencair. Kepolosan wajah Aisya akhirnya mampu meluluhkan hatiku.
Tak terasa azan maghrib berkumandang saat kami masih terdiam dalam keheningan di depan sekolah Aisya.
Allahuakbar...Allahuakbar.
Kubimbing dia ke mobil.
“Kau pasti belum makan dari tadi siang.
Dia menggeleng.
“Kita sholat dulu ya, setelah itu baru makan malam,” ujarku.
Dia mengangguk polos. Oh adikku...
***
Setengah terisak aku bermunajat di sebuah mushola. Tidak jauh dari sekolah Aisya. Di sampingku, Aisya pun tampak kusyu’ berdo’a. Kurasakan cahaya-Nya di sela-sela kehidupanku sekarang. Teringat aku akan kelalaian yang telah kulakukan dahulu, mungkin cobaan yang datang padaku adalah sebuah teguran dari-Nya. Aku berjanji akan mulai memperbaiki diri mulai saat ini.
Kucoba untuk mengurai senyum pada Aisya. Awalnya memang terasa canggung, tapi senyum balasan yang tulus darinya membuatku yakin, aku mulai menyukainya.
“Sekarang kita makan ya! Kau pasti lapar,” ujarku
Aisya mengangguk. Raut ketakutan perlahan hilang dari wajahnya.
Kami masuk ke sebuah restoran. Kupesan makanan terenak yang ada di sini untuk membayar kelalaianku siang tadi.
Aisya tampak malu-malu memakan makanan yang sudah tersaji di hadapan kami.
“Kenapa tidak dimakan?” Tanyaku berusaha seramah mungkin.
Dia tersenyum kecil.
Tangannya mulai bergerak mengambil setiap makanan yang ada. Kutatap matanya, ada tatapan ketulusan di sana. Perlahan kupegang tangan Aisya.
“Maafkan kakak ya!Ujarku.
Dia tampak termenung melihatku.
“Maafkan kakak, mulai besok kakak janji akan menunggu sampai kau benar-benar keluar dari sekolah,” lanjutku.
Aisya terisak kembali.
“Kak...terima kasih,kata-kata itu begitu indah terdengar.
Aku tersenyum.
“Terima kasih karena sudah mau menjadi kakak untuk Sya, akhirnya Sya tidak sendiri lagi.
Kupeluk dia dengan tulus.
“Iya dik, terima kasih juga karena sudah mau menjadi adik kakak yang manis,” ujarku.
Akhirnya senyum lebar tersungging dari bibirnya. Terima kasih Tuhan karena sudah memberikan kado terindah untukku.

Leave a Reply