Berbagi Dalam Kebaikan

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar











          Oleh:Taka tanika

          Kawan, ini lah kisah pertama aku mengenal tarbiyah. Dari SD aku sudah dititipkan kedua orangtua di sekolah islam yang bernama Muhammadiyah. semua orang tahu bahwa Muhammadiyah adalah sekolah swasta berbasis islam. Berlanjut ke SMP, aku masuk SMP swasta yang juga berbasis islam. SMA pun begitu. Di SMP dan SMA aku menuntut ilmu di yayasan yang sama. Yayasan itu bernama YPIT Mutiara Duri-Riau. Kalau dikaji dari biaya operasional, sekolah ini sekolah yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas. Maklum saja sekolah swasta. Kalau Masalah kualitas tidak diragukan lagi. Setiap hari masuk pukul 07.15 pulang pukul 15.30 usai shalat ashar. Begitu setiap hari. Sehingga kekhawatiran orang tua terhadap aktifitas anaknya dapat terminimalisir karna lebih banyak menghabiskan hari di sekolah.

         Tapi satu hal yang harus dirimu tahu kawan. Aku bukan lah anak orang kaya yang sanggup membayar biaya operasional setiap bulannya. Berbekal beasiswa dari yayasan aku mendapat fasilitas dan tempaan yang setara dengan teman-teman yang lain. Kawan, pada umumnya guruku adalah orang-orang yang tertarbiyah. Di dalam kelas, mereka tidak hanya memahamkan tentang matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris dan mata pelajaran lainnya. Mereka mengajarkan nilai kebaikan dan bertutur benar kepada orangtua. Bersikap jujur dan mengajarkan kejujuran. Mereka sering mengangkat kisah hidupnya untuk meyakinkan kami. Mereka cerdas, jujur, berwibawa dan sabar. Aku takjub pada kepintaran mereka dalam memahamkan kami terhadap pelajaran. Aku kagum pada wibawa mereka yang tidak dibuat-buat. Dan aku salut pada kesabaran mereka dalam menghadapi beragam tingkah laku kami. Cerita seorang guru yang sampai hari ini masih kental dalam ingatanku. Beliau wali kelasku ketika SMP kelas satu. Selain cantik, dia adlah sosok yang mementingkan penampilan. Banyak nilai plus untuknya di mataku. Aku senang mendengar petuah dan motivasi darinya. Ketika itu dia bercerita tentang perjuangannya mengenakkan jilbab yang berawal ketika SMA. Beberapa kali jilbabnya dilepas secara paksa. Tapi beliau tidak menyerah. Bahkan mengulanginya setiap saat. Buraian airmata tentu mengokohkannya. Kontra dari pihak keluarga tidak menyurutkannya untuk istiqomah. Sulit dipercaya pada akhirnya, keluarga yang menentangnya pun mengikuti langkahnya mengenakkan jilbab. Aku tersenyum sendiri mengingat cerita tersebut. Aku juga ingin mengenakkan jilbab tiap kali berpergian atau bahkan ketika duduk-duduk diteras rumah. Ketika itu aku malu mengenakkan baju yang pas di badan. Aku merasa tidak nyaman karna payudaraku sudah mulai tumbuh. Sering ku tarik baju disekitar dada agar tidak membentuk payudara. Walhasil bajuku menjadi jelek. Ada keinginan dalam hati ku untuk mengenakkan jilbab agar aku senantiasa leluasa tanpa harus menarik baju. Tapi keluargaku bukanlah keluarga yang paham tentang aurat. Pemahaman agama kami sebatas rukun islam. Syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Kalau haji, entah kapan kami bisa naik haji. siapa tahu kisahku akan sama seperti wali kelasku. Berujungn manis. Sampai kelas tiga SMP aku belum bisa mengenakkan jilbab kemanapun aku mau. Aku baru bisa mengenakkannya ketika ke sekolah dan ke pasar. Keterbatasan baju yang aku punya juga menjadi penghalang bagiku untuk memenuhi keinginan tersebut. Saat itu aku berfikir untuk menjadi orang kaya. Aku harus kaya. Selama ini baju yang aku pakai lebih banyak dari pemberian sanak dan keluarga apakku. Lengan pendek dan merisaukan. Syukurnya aku selalu mengenakkan celana panjang di luar dan di dalam rumah. Aku tahu. Jacket. Yeah, aku butuh jacket agar gampang dipakai dan dilepas. Ku buat janji dengan diriku “ kita nanti aku sudah punya jacket, aku tak lagi telanjang kepala duduk-duduk di teras rumah bahkan di dalam rumah”. Aku ingin memelihara auratku. 

      Mulai hari itu aku menabung untuk membeli jacket. Interval Di penghujung kelas tiga SMP, aku berhasil membeli jacket dengan uang ku sendiri. Sebagaimana janji ku. Aku akan menjaga auratku dari yang bukan muhrim. Hari pertama aku mengenakkan jilbab di rumah. Semua orang bertanya “ hendak kemana?” “ tidak kemana-mana” “rapi sekali” “  ” kubalas dengan senyuman. Mental ku belum total. Aku butuh 20% lagi untuk meyakinkanku. Bila tiba-tiba ada yang mengejek dan mencemooh aku belum siap. Apalagi apakku. Raja cemooh. Maklum saja, kami orang minang yang cemoohan dan sindirannya sudah dikenal. Oh, tidak. Kekhawatiranku kini terjadi. Apak menentangku habis-habisan. Beliau mengatakan aku aliran sesat, cepatlah taubat sebelum sesat lebih jauh katanya. Beliau sering marah ketika aku terlambat datang memenuhi panggilannya yang sedang duduk-duduk di teras. Dua detik saja menunggu, beliau marah. Padahal aku sedang menyorong jilbab dan memasang jacket. Beliau juga bilang aku tambah budeg alias tuli semenjak menggantungkan sehelai jilbab di kepalaku. Aku sedih, bahkan ingin menangis. Aku tak sanggup membantah kedua orangtuaku. Bagaimanapun aku akan tetap menjadi anak baik untuk mereka. Aku selalu mendo’akan mereka dalam shalatku. Kuadukan pada Allah keinginanku untuk menuju kekaffahan. Aku pun meminta pendapat dengan guru-guruku. Kuamalkan solusi yang mereka sarankan. Man jadda wa jada. There is a will there is a way. Memasuki usia SMA, kontra dengan apakku belum berujung. Kucari jalan keluar. Dengan keyakinan yang sempurna kuminta pada Allah agar mengikat erat hatiku dengan mereka. Aku semakin santun. Turut ku bantu mereka dalam membina adik-adikku. Aku ingin amak dan apakku merasa beruntung memiliki anak sepertiku. Dengan seperti ini, aku mendapat simpati. Lambat laun lampu hijau menyala untukku. Aku bisa memakai jilbab kemanapun aku suka. Bahkan aku mendapat kepercayaan untuk membina adik-adikku dalam urusan agama. Aku semakin gencar dengan misi ku. Sampai hari ini, tekadku belum pudar. Aku akan menjadi murabbi bagi adik-adikku.

Leave a Reply