Hatiku hancur mendengar semua
penjelasan pak Yudi, pengacara papa. Apa maksud semua ini. Aku sungguh tidak
mengerti.
“Rana, kamu harus bisa menerima semua
ini, walaupun cuma satu ayah dia tetaplah adikmu Rana,” ujar pak Yudi berusaha
memberi penjelasan padaku.
Cukup sudah aku kehilangan kedua
orangtuaku di usiaku yang semuda ini.
Apakah bebanku harus bertambah dengan mengasuh dia? Tatapan mata polos
tak bersalah itu menatapku penuh harap.
“Rana, kenalkan...ini Aisya, anak papamu
dengan tante Ratih,” lanjut pak Yudi.
Aisya, gadis itu menatapku polos.
Sejak tadi angannya memainkan ujung kerudungnya. Umurnya sekitar 15 tahunan,
sejak tadi dia tampak ketakutan. Akhirnya aku luluh juga, tatapan matanya mampu
mencairkan hatiku.
“Ya sudah, aku akan berusaha
menjaganya,” ujarku akhirnya.
“Kalau begitu bapak pergi dulu, besok
kamu bisa langsung ke kantor papamu”.
Aku mengangguk, menatap pilu kepergian
pak Yudi. Sekarang tinggal aku dan gadis itu. Dia menatapku takut-takut.
Kuhempaskan badanku di sofa yang ada di ruang tamu rumah ini. Sungguh, aku syok
dengan kenyataan ini. Aisya masih berdiri di sebelahku, tangannya masih
memainkan ujung kerudungnya.
“Kamu bisa berhenti memainkan ujung
kerudungmu itu!” bentakku.
Dia tampak terkejut dan langsung menghentikan
gerakannya. Dia semakin terlihat ketakutan.
“Baik, kamar kamu di sana,” tunjukku pada sebuah kamar
yang ada tepat di bawah tangga,”Kamu bisa beristirahat di sana”
Dia mengangguk dan dengan segera
berjalan menuju kamar itu. Aku sengaja memberikan kamar itu untuknya, biar dia
tidak terlalu ngelunjak di sini. Hatiku benar-benar sakit, tidak kusangka papa
bermain di belakang mama. Sungguh hebat, 15 tahun usia gadis itu, sampai akhir
hayatnya pun mama tidak mengetahui kehadirannya. Aku sungguh tidak bisa
memaafkan hal ini. Tidak terasa air mataku menetes, mengapa cobaan ini terasa
begitu berat bagiku?
***
Aku terdiam di meja makan, begitupun
dengan Aisya. Dia masih tampak takut-takut menggigit roti di tangannya.
“Ini handphone untukmu,” ujarku
dingin,”Aku akan mengantarmu ke sekolah pagi ini, nanti kalau kau sudah mau
pulang kau bisa menghubungiku,” lanjutku.
Aisya mengangguk, tangannya bergetar
menerima barang pemberianku.
Aku diam sepanjang perjalanan,
begitupun dengan Aisya. Dia hanya menunduk, sementara aku fokus pada jalan. Aku
sungguh tak berminat untuk mengobrol dengannya.
Akhirnya sampai juga di depan pintu
gerbang sekolahnya. Aku diam tak bergeming.
“Makasih kak...Sya senang kakak mau
mengantar Sya ke sekolah,” ujarnya lirih dan berlalu dari hadapanku.
Sepanjang perjalanan ke kantor aku
termenung mengingat ucapannya tadi. ‘Kakak’, sebuah kata yang aneh menurutku.
Bertahun-tahun aku hidup sebagai anak tunggal dan sekarang aku menjadi kakak,
jujur aku masih belum mampu menerima semua ini.
Pak Yudi menyambutku dengan sumringah.
Dengan sigap dia langsung memperkenalkanku sebagai pengganti papa kepada semua
karyawan. Hampir saja titik-titik bening meluncur dari pelupuk mataku, untung
saja aku masih bisa menahannya. Sekarang aku benar-benar merasa sendiri.
***
Aku tidak tahu apakah papa bangga
padaku atau tidak, sekarang aku terdiam di dalam kantornya. Duduk di kursi yang
biasa didudukinya. Memang masih asing bagiku, entah sampai kapan aku akan bisa
bertahan.
Lamunanku tentang papa terpecah oleh
getaran handphone di saku blazerku. Segera kuambil, sebuah pesan. Ternyata dari
gadis itu, dia sudah mau pulang. Kulirik jam di pergelangan tanganku, sebentar
lagi memang istirahat siang. Kutarik napas panjang, semoga aku bisa mengahadapi
semua ini.
***
Kuperhatikan setiap anak yang keluar
dari pintu gerbang itu. Belum kulihat batang hidung Aisya. Kesabaranku hampir
habis, tadi dia bilang akan pulang. Sudah sepuluh menit aku menunggu di sini,
tampaknya dia mau mempermainkanku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi saja dari
tempat itu, sekedar memberi pelajaran untuk gadis yang tidak tahu berterima
kasih itu.
Hampir gelap aku baru menginjakkan
kaki di rumah. Sepi, apakah Aisya belum pulang? Rasa khawatir hinggap di hatiku. Walaupun dia
saudara tiriku, tapi dia tetaplah tanggung jawabku.
Kubuka pintu kamarnya. Kosong,
keringat dingin mulai kurasakan. Kemana dia? Apakah dia belum pulang? Aku mulai
kebingungan.
Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya.
Setengah berlari aku masuk ke dalam mobil. Tapi, kemana aku harus mencarinya?
Tidak satupun nomor temannya yang kupunya. Rasa kesal itu akhirnya sampai ke
ubun-ubunku. Mengapa dia harus bersamaku? Sekarang dia menjadi masalah bagiku.
Akhirnya kuputuskan untuk mencari di
sekitar sekolahannya. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku lumayan
khawatir, karena kurasa dia belum terlalu mengenal daerah ini.
Kuperhatikan setiap detil yang kulalui
menjelang ke sekolah Aisya. Tapi, wajahnya belum juga kutemukan. Sekarang aku
tepat berhenti di depan sekolahnya. Kulihat sekeliling, bola mataku
berputar-putar mencari sosoknya.
Lama juga aku memperhatikan tempat
ini, hingga akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah halte yang berada tidak jauh
dari pintu gerbang sekolah. Kulihat di sana sesosok gadis berjilbab bertopang
dagu, ada gurat kecemasan di wajahnya.
Setengah berlari kuhampiri dia...
“Aisya!” Panggilku setengah berteriak.
Mata beningnya beralih menatapku.
Entah kekuatan apa yang membuatnya berlari dan langsung memelukku. Kontan saja
aku terkejut dan berusaha melepasakn pelukannya.
“Kau kemana saja?” Tanyaku setengah
membentak.
Dia tampak ketakutan, kulihat selaksa
bening yang mengalir dari pelupuk matanya.
Kuatur napasaku, kocoba untuk bertanya
dengan lebih lembut.
“Dari tadi siang aku menunggumu di
sini”
Dia masih tampak ketakutan. Tapi,
bibir mungil itu akhirnya mengeluarkan suara juga.
“Ma...Maaf kak, tadi Sya dipanggil
kepala sekolah dulu jadi agak terlambat keluarnya, sebenarnya tadi siang Sya
sudah berusa memanggil kakak, tapi mobil kakak pergi begitu cepat,” ujarnya
menjelaskan dengan suara serak.
Aku termenung. Hening...jadi dari tadi
siang dia menungguku di sini. Kuperhatikan wajahnya, pucat. Kurasa dia belum
makan apa-apa, terlihat gurat kelelahan di sana. Hatiku yang sempat kesal
perlahan mencair melihatnya.
Lama aku menatapnya hingga kemudian
secara refleks aku memeluknya. Dia terisak dalam pelukanku. Kurasakan
kehangatan di sini.
“Seharusnya tadi kau menelepon
kakak...,” ujarku akhirnya.
Entah kenapa aku mulai suka dengan
kata-kata itu. Panggilan kakak, aku mulai merasakan kedamaian dengannya.
Di tengah isakannya dia berkata,”Sya
takut kak, takut kalau kakak marah. Makanya Sya tidak berani menghubungi kakak.
Sya bingung, akhirnya sya hanya duduk saja di halte itu”
Oh adikku...maafkanlah kakakmu ini,
ujarku dalam hati. Es itu perlahan-lahan mencair. Kepolosan wajah Aisya
akhirnya mampu meluluhkan hatiku.
Tak terasa azan maghrib berkumandang
saat kami masih terdiam dalam keheningan di depan sekolah Aisya.
Allahuakbar...Allahuakbar.
Kubimbing dia ke mobil.
“Kau pasti belum makan dari tadi siang.”
Dia menggeleng.
“Kita sholat dulu ya, setelah itu baru
makan malam,” ujarku.
Dia mengangguk polos. Oh adikku...
***
Setengah terisak aku bermunajat di
sebuah mushola. Tidak jauh dari sekolah Aisya. Di sampingku, Aisya pun tampak
kusyu’ berdo’a. Kurasakan cahaya-Nya di sela-sela kehidupanku sekarang. Teringat
aku akan kelalaian yang telah kulakukan dahulu, mungkin cobaan yang datang
padaku adalah sebuah teguran dari-Nya. Aku berjanji akan mulai memperbaiki diri
mulai saat ini.
Kucoba untuk mengurai senyum pada
Aisya. Awalnya memang terasa canggung, tapi senyum balasan yang tulus darinya
membuatku yakin, aku mulai menyukainya.
“Sekarang kita makan ya! Kau pasti
lapar,” ujarku
Aisya mengangguk. Raut ketakutan
perlahan hilang dari wajahnya.
Kami masuk ke sebuah restoran. Kupesan
makanan terenak yang ada di sini untuk membayar kelalaianku siang tadi.
Aisya tampak malu-malu memakan makanan
yang sudah tersaji di hadapan kami.
“Kenapa tidak dimakan?” Tanyaku berusaha seramah
mungkin.
Dia tersenyum kecil.
Tangannya mulai bergerak mengambil
setiap makanan yang ada. Kutatap matanya, ada tatapan ketulusan di sana.
Perlahan kupegang tangan Aisya.
“Maafkan kakak ya!” Ujarku.
Dia tampak termenung melihatku.
“Maafkan kakak, mulai besok kakak
janji akan menunggu sampai kau benar-benar keluar dari sekolah,” lanjutku.
Aisya terisak kembali.
“Kak...terima kasih,” kata-kata itu begitu indah
terdengar.
Aku tersenyum.
“Terima kasih karena sudah mau menjadi
kakak untuk Sya, akhirnya Sya tidak sendiri lagi.”
Kupeluk dia dengan tulus.
“Iya dik, terima kasih juga karena
sudah mau menjadi adik kakak yang manis,” ujarku.
Akhirnya senyum lebar tersungging dari
bibirnya. Terima kasih Tuhan karena sudah memberikan kado terindah untukku.