Berbagi Dalam Kebaikan

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
Ahlan Wa Sahlan di Blog FKII

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam augue pede, molestie eget, ...

TFT PMLDK Sumbagut

Semoga FKII Selalu Berkarya.

Memahami Sastra Islam

Buku FKII Berkarya (Saat mentari Mulai Menyinariku) buku ini berisi Kumpulan Kisah pengalaman awal tarbiyah Kader2 FKII Asy-Syams.........

Muktamar FKII Asy-Syams ke XIV

Some block quote tests: Here's a one line quote. This part isn't quoted. Here's a much longer quote: Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. In dapibus. In pretium pede. Donec molestie facilisis ante. Ut a turpis ut ipsum pellentesque tincidunt. Morbi blandit sapien in mauris. Nulla lectus lorem, varius aliquet, ...

BUKU FKII Asy-Syams

I'm just a lowly contributor. My posts must be approved by the editor.Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in quam. Etiam augue pede, molestie eget, rhoncus at, convallis ut, eros. Aliquam pharetra. Nulla in tellus eget odio sagittis blandit. Maecenas at ...

Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar
















Bidang kemuslimahan Forum Kajian Islam Insetif (Fkii) Asy-Syams UIN SUSKA RIAU bekerja sama dengan bidang kemuslimahan DCC SMART Fakultas Dakwah Ilmu Komunikasi (FDIK) menggelar jaulah an-nisa dalam menyambut hari Ibu, di teater FDIK, Jum’at (16/8/2011) acara tersebut mengadirkan pemateri Yuli Nancy. Menurut Neneng, ketua keputrian Fkii Asy-Syams UIN Suska, acara tersebut selain untuk menyambut hari Ibu, juga sebagai mempererat silaturrahmi sesama muslimah se-UIN.” Tujuan diadakan jaulah ini adalah untuk mempererat selaturrahmi dan juga untuk mengingatkan betapa besarnya jasa-jasa seorang Ibu, bahwa seorang Ibu memiliki peran besar yang tidak akan pernah bisa untuk digantikan. Ujarnya. “ Untuk mengingat jasa Ibu tidak hanya di hari-hari tertentu saja, tetapi setiap hari itu adalah hari Ibu.” Tambah Ani, ketua Keputrian DCC SMART. Acara yang berlangsung sekitar dua jam tersebut dihadiri hampir 130 peserta dari berbagai fakultas. Acara kemudian ditutup dengan penampilan Nasyid Salsabila dan salam-salaman.
[ Read More ]

Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar



  Karya Ilham Fauzi



Negeri Para Nabi. Bumi Al-Aqsa. 1420 H.
Dzulhijjah menuju penghujung. Menutup selaksa episode nan lelah menggores. Berselang hari, Muharam kembali datang. Melantunkan gema lembut. Menggantikan sisiran kisah-kisah dibulan-bulan sebelumnya. Saat pedih dan bahagia memberi warna. Memberi harap dan tekad baru agar dihadirkan kisah dari lantunan do’a. Semoga percik-percik kebaikan tak pernah surut menghampiri.
Namun bagaimana dengan sebuah negeri yang berada di pesisir laut tengah. Yang diserpih kedinginan sejak Zulkaidah memasuki. Tak ada aroma gurun yang mempertajam dahaga. Tak ada tarian pasir mempertontokan badainya yang berputar-putar mengerikan. Dipenghujung tahun, hawa panas tak begitu hebat menjalar. Takluk karena  kedinginan begitu berkuasa merasuk ke sumsum tulang. Tapi tetap saja daun-daun kurma dan zaitun tak segar menghijau. Mereka tertunduk tak semangat. Bukan hanya karena dingin bercokol di titik 25 derajat celcius. Namun karena sebuah luka. Luka yang tak berhenti mencecerkan darah. Luka di tanah Al-Quds.
 -Amir-
Aku memimpikan itu. Ketika kami melewati matahari pertama di bulan Muharam tanpa mendengar  bunyi-bunyi peluru yang hilir mudik mencari alamat. Namun semuanya mesti terus terjadi. Peluru itu akan terus  berdansa memuntahkan timah panas. Semua tak akan pernah berhenti. Sebab hingga aku sepuluh tahun, tak ada sedikitpun jeda untuk tanah ini didiamkan dari desing-desing yang menyesakkan dada.
Semua tak kami kehendaki. Walau begitu, di penghujung Hijiriah ini aku, abi, umi, dan Afuf, adikku, akan mengadakan pesta kecil-kecilan seusai subuh. Di sini tak akan ada peringatan besar-besaran yang menandakan Zulhijjah telah berlalu. Sebab penjajah tanah ini tak akan membiarkan semuanya berlalu dengan aman. Mereka akan menambah luka lagi.
Abi membangunkanku dan Afuf seperti biasa. Kami sholat subuh berjamaah. Abi akan larut sebentar dalam zikir al-matsurat pagi. Sementara aku dan Afuf bergeming nakal. Selesai itu, abi membukakan pintu dan kami mulai “berpesta”. Menunggu fajar Muharam menyemburat.
“Tahun baru datang lagi Abiiii!” aku meneriakkan itu yang juga disusul oleh Afuf dengan terpatah-patah. Ia baru berumur dua tahun. Umi akan sibuk menyajikan makanan yang lain dari biasa.  Tahun lalu umi membuat daging panggang flatbreads1. Untuk sekarang aku meminta manakeesh.2.   
Kami memasaknya di luar dan menggotong barang-barang yang diperlukan. Abi menyalakan api unggun. Kecil saja. Sebetulnya suasana gelap adalah target yang mengempukkan bagi tentara yahudi melenyapkan kami. Serangan-serangan biadab itu biasanya dilancarkan ketika gelap masih mengepul. Yang paling khawatir adalah abi. Hanya untuk satu kali ini saja abi mengizinkan.
“Aku bukan anak kecil lagi Abi. Aku sudah menjadi abang sekarang. Aku tak takut  berhadapan dengan zionis-zionis itu.” sebuah protesku pada abi yang pernah aku lontarkan. Abi hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Tak mengatakan sepatah katapun.
Dingin masih berkuasa dengan tahtanya. Umi menggelar tikar pandan di bawah pohon kurma yang daunnya sangat lebat. Abi menenteng kompor mini. Dibantu Afuf dibelakangnya. Mengangkut bahan-bahan untuk manakeesh. Seperti minyak zaitun, oregano3, bawang, rempah-rempah dan saus panas. Selain itu juga diselingi dengan yogurt sederhana buatan umi dan chai 4 hangat. Aku menceritakan segala keinginan yang harus terwujud tahun ini. Aku harus hafal lima juz lagi. Mempelajari AK-47. Afuf juga bercerita tentang keinginannya. Kami hanyut dalam tawa hingga nanti pagi benar-benar sempurna dalam kilauan terang.
“Bang Amir! Gelas untuk chai masih didalam. Tolong ambilkan.” Afuf menyela dengan suara cadelnya.
“Baiklah.” ujarku sambil melangkah ke dapur yang agak jauh ke belakang.
Aku kembali dari dapur dengan membawa teko berisi teh hangat dengan hati-hati. Keseimbanganku menggoyah ketika dentuman keras menggetarkan tanah. Aku terpaku namun tak perlu lagi mengeluarkan tanya. Roket-roket keji itu mengunjungi rumahku. Tepatnya menghantam pekarangan rumah dimana abi, umi, dan Afuf tengah berada. Dengan hentakan kaki yang bergerak kilat, aku merangsek ke depan.
Abi, umi dan Afuf terpental dalam leleran darah yang membanjir. Sedangkan deru-deru pesawat yahudi mulai menjauh. Aku mulai terisak-isak. Terduduk sambil memeluk lutut. Aku tak sanggup mendekati mereka. Sungguh tak sanggup. Aku hanya menatapi minyak zaitun yang dibawa Afuf tertumpah. Daging-daging yang akan dipanggang umi terpental. Kompor mini abi tersungkur, sujud di pasir. Aku mulai menangis. Semakin mengeras. Muharam di sepuluh tahunku menancapkan luka teramat perih.
***
Gaza dalam merah. 1432 H.
-Nur Putih-
Atas perintah Tuhanku, aku melesat menuju bumi. Seperti biasa, mencatat apa yang diperbuat manusia di tanah milik pencipta mereka. Namun tak hanya itu, aku datang untuk menjemput kalian. Mengambil ruh dalam dua keadaan. Keadaan sebaik-baik rupa. Ditangisi banyak orang. Disholati dalam banyak shaf. Bahkan terus dikenang. Atau bisa jadi ketika kalian dalam keadaan seburuk-buruk rupa. Menggumpal dalam beku darah. Mengonggok dalam tumpukan daging yang mengaroma busuk. Atau dalam keadaan yang sangat menyedihkan.  Hina dalam pandangan manusia bahkan mungkin juga hina dalam pandangan Rabb-ku.
Gaza meremang pekat. Aku tiba di tanah kematian ini. Tanah seluas 360 km2. Kembali aku bertasbih memuja Rabb-ku. Tempat ini benar-benar gelap bagi kalian ukuran manusia. Ritme kehidupannya tak terlihat menghembuskan nafas. Sama halnya ketika aku melintas di Tepi Barat. Bahkan Baitul Maqdis yang mampu menampung hingga dua ratusribu umat, sunyi tak bernyawa. Mendiam. Menyatu dalam bekuan dingin.
-Nur Putih-
Mereka memanggilnya dengan Amir. Aku mencatat ia yang selalu terjaga dalam sujud panjang disepertiga malam terakhir. Melantunkan hafalannya yang sempurna 30 juz. Wajahnya kilat bercahaya. Tak salah Tuhanku mengatakan bahwa manusia adalah sebaik-baik mahkluk. Tapi hanya manusia-manusia pilihan-Nya.
“Amir, bagaimana kalau kita melakukan pengungsian dulu ke Tepi Barat. Di sana kita bisa menyatukan semua kekuatan yang berada di Betlehem, Hebron, Ramallah juga di Jerusalem. Setelah itu kita bisa kembali ke sini merebut Gaza. Bukankah Allah akan terus bersama kita.”
Wajah yang masih muda itu menatap ke wajah yang baru saja berbicara. Kemudian mengulas senyum. Dengan tenang ia beujar. “Gaza memanglah tanah kering yang tak punya kekayaan apa-apa. Meski begitu, ini adalah tanah kita. Kita tak boleh meninggalkannya sedetikpun dan membiarkan mereka mendudukinya. Kekuatan kita akan tetap di sini. Sementara di Tepi Barat biarlah mujahid di sana mengatur strategi.”
Wajah itu tertunduk. Tak lama, pertemuan sembilan orang itu  berakhir. Mereka meninggalkan ruang rahasia tempat mereka biasa mengatur strategi. Siasat perang selanjutnya telah diatur.
Sekarang tugasku di sini. Aku akan berhadapan dalam sepenggal cerita yang bertaruh nyawa. Atas perintah Rabb-ku, kali ini aku menjelajahi tanah Al-Quds.
-Nur Putih-
Mereka yang mengajarkan kami perang. Semenjak mereka merenggut abi, umi dan Afuf, aku juga tak akan berhenti memerangi kalian. Tidakkah pernah kalian rasa, jika dengan tiba-tiba kalian kehilangan orang yang kalian cinta wahai yahudi terkutuk? Apa nurani kalian demikian tertutupnya sampai-sampai kalian hanya memikirkan kepentingan kekuasaan kalian saja. Takkah terpikir, Tuhan menghadirkan tanah ini bukan untuk kalian semuanya. Tuhan juga memberikannya untuk kami. Takkah terpikir yahudi? Takkah?
Ia sesegukan mengucapkan kata-kata itu. Hanya sebentar. Kemudian ia menulis beberapa menit. Kulihat ia meneteskan air mata. Degup jantungnya berdetak cepat. Perlahan tetes peluh muncul dipelipis dahinya. Ia menghembuskan nafas dan menyandarkan tubuh.
Walau ruangan itu tidak besar tapi isinya padat. Di sana terdapat banyak kitab-kitab. Di dinding ditempel peta Jalur Gaza dan Tepi Barat. Beberapa senjata dan peralatan medis tergeletak begitu saja. Aku pastikan ruangan ini merangkap sebagai ruang pribadi sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka kembali melakukan misi. Menyusuri setapak jalan yang merona digelap dini hari. Langkah-langkah itu berderap melintasi semak belukar. Tembok-tembok yang dibangun yahudi sepanjang daratan agak menyulitkan. Namun mereka selalu punya cara. Posko-posko yahudi yang berada disepanjang jalur gaza harus dihancurkan. Mereka akan terus membunuh warga-warga Gaza yang lewat dengan semaunya.
AK-47, roket anti tank RPG, ranjau, dan beberapa jenis roket lokal menunggu untuk dimainkan. Bersiap melawan tank Merkava, pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton “bom canggih” buatan Amerika Serikat.
Meski dengan senjata itu cukup menyulitkan kalian melawan Israel, tapi kekuatan Rabb-ku akan selalu mengiringi kalian. Aku siaga manusia putih. Aku siap kapanpun membawa kalian. Dengan senang hati. Akan kuhantar lansung menuju firdaus-Nya atas izin Tuhan-ku.
-Nur Putih-
Aku kembali. Di ruangan sempit dan kecil milik Amir. Tempat ia menghabiskan malam-malamnya dalam sujud panjang. Diiringi luruhan air mata yang membasahi sajadah.
Lengang. Mereka masih dalam perang yang menitikkan darah. Kulihat kertas yang pernah ia tulis. Aku menyentuhnya.
Menuju Muharam baru. Tahun harapan.
Jika di tanah ini air tak lagi bisa menyelamatkan segalanya, biarlah. Jika di tanah ini angin juga tak lagi datang membawa kabar pertolongan, juga biarlah. Bahkan sampai tanah ini juga tak mengizinkan lagi untuk hidup di sini, tetap biarkanlah. Bukankah semuanya masih bisa terus dilanjutkan? Meski mereka tak lagi sahabat kita, meski mereka mengabaikan kita, meski mereka menzalimi kita, dan meski mereka menistakan kita.
Kita tak perlu khawatir apalagi takut. Sebab bukankah di sini kita masih berdiri membentuk lingkaran. Selama rantainya masih erat, semuanya akan baik-baik saja. Di sini masihlah ada pemuda-pemudan-Nya yang teguh memegang janji. Pemuda-pemuda yang tak akan mundur ketika tanah-Nya digumuli kenistaan. Pemuda yang tak akan berdiam diri jika saudaranya dibinasakan.
Namun jika akhirnya tetap ada yang mengkhianati kita, kita juga tak perlu takut. Sebab kita akan menunjukkan betapa dahsyat kekuatan kita. Semuanya selama kita tetap berpegang erat dalam satu jalan. Satu jalan menuju kemenangan Palestina.
Sebuah pesan. Pesan kematian untuk menemui Rabb-ku. Tanah Al-Quds takkan pernah berhenti mengurai cerita merah. Semoga jundi-jundi kecil Allah membacanya dan meneruskan perjuangan sang Amir.
-Nur Putih-
Mereka masih belum kembali. Aku bersiap meninggalkan tempat ini. Menemui Rabb-ku. Aku belum ditugaskan untuk membawa mereka.
Pintu berderit. Nafasku tertahan. Hanya Amir yang akan memasuki ruangan ini sendirian. Dan dia bukan Amir. Seseorang yang mengusulkan agar semua kekuatan dipindah ke Tepi Barat. Dengan senyum licik mengeluarkan barang digenggamannya. Peledak waktu kiriman Amerika. Ia menyelipkan diantara kitab-kitab. Tak sampai satu menit ia keluar. Semuanya telah ia pastikan dengan baik. Ia menjamin satu jam lagi mereka akan kembali. Setelah itu….
Pintu kembali tertutup. Kertas yang ditulis Amir tertiup dan menyungkur dihadapan tanah.
Jalur GaSa, 28 November 2011


[ Read More ]

Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar


Dalam menyambut muharam yang bertepatan pada hari minggu, 27 oktober 2011,  yang merupakan tahun baru bagi umat islam. Fkii Asy-syams UIN SUSKA RIAU memeriahkannya dengan mengadakan serangkaian lomba yang tediri dari Lomba masak, lomba cerdas cermat, lomba barbique, lomba menulis cerpen islami, lomba futsal, dan pastifal nasyid. Perlombaan dimulai dari tanggal 25 November sampai 30 November,selain mengadakan serangkain lomba semarak muharam  fair Fkii juga mengadakan Fkii award yang baru pertama kalinya di adakan di UIN.” Fkii awards ini bertujuan mengapresiasi kader-kader Fkii yang berprestasi  di berbagai bidang, mulai bidang akademis, organisasi, tahfiz qur’an, wirausaha, entrpreneur, dll. Memotivasi kader Fkii untuk terus berkarya dalam segala aspek disiplin ilmu, seperti membuat kajian keislaman, karya tulisan ilmiah, tulisan-tulisan fiksi, design grafis sesuai minat dan bakat mereka.” Ungkap Gunawan sebagai ketua umum Fkii Asy-syams. “Fkii award juga sebagai unit kegiatan mahasiswa yang paling diminati oleh mahasiswa UIN. Lebih dari 500 anggota Fkii di kampus UIN diharapkan mampu menginspirasi mahasiswa dari civitas acedemik kampus, berkontribusi yang positif sehingga mampu membawa nama baik UIN SUSKA Riau baik di propinsi Riau bahkan di  skla Nasional, sebagaimana jargon Fkii berbagi dalam kebaikan.” Tambah pemilik nama lengkap Gunawan arafat itu.
 Adapun acara penutupan muharam fair Fkii dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2011 dengan seminar motivasi yang bertema “Melukis muharam seindah pelangi(live your dream) yang menghadirkan Mr. Wira Putra Ramli, S.TP., CH (Trainer profsional alumni UNPAD, Owner dan direktur smart companya. Acara bertempat di rektorat lantai lima yang dihadiri lebih kurang dari 200 peserta. Sekitar jam 9.00 acara dimulai. Dipertengahan acara menampilkan perfomence dari perserta seperti penampilan nasyid dan pembacaan cerpen islami. Kemudian baru memasuki acara inti seminar motivasi yang dibawakan oleh trainer yang mampu menghipnosis peserta. Jam 12.00 adalah saat-saat yang mendebarkan bagi peserta yang telah mengikuti serangkain lomba muharam fair karena setiap pemenang lomba akan diumumkan. Dengan senyum  kemenangan satu persatu peserta namanya yang dipanggil oleh Mc maju kedepan.” Saya berharap dengan adanya rangkaian acara muharam fair ini mahasiswa bisa mengetahui eksistensi Fkii di kampus dan bisa mengambil banyak ‘itibar, untuk kedepannya saya juga berharap Fkii bisa melaksanakan kerjasama dengan UKK/ UKM lain dalam memperingati hari-hari besar islam sehingga tujuan kita bersama tercapai mewujudkan kampus Islam Madani.” Tutur skhoiri sebagai ketua panitia  muharam fair Fkii.
[ Read More ]

Posted by HUMAS FKII ASY-SYAMS - - 0 komentar






Oleh: Afra Nisa
Hatiku hancur mendengar semua penjelasan pak Yudi, pengacara papa. Apa maksud semua ini. Aku sungguh tidak mengerti.
“Rana, kamu harus bisa menerima semua ini, walaupun cuma satu ayah dia tetaplah adikmu Rana,” ujar pak Yudi berusaha memberi penjelasan padaku.
Cukup sudah aku kehilangan kedua orangtuaku di usiaku yang semuda ini.  Apakah bebanku harus bertambah dengan mengasuh dia? Tatapan mata polos tak bersalah itu menatapku penuh harap.
“Rana, kenalkan...ini Aisya, anak papamu dengan tante Ratih,” lanjut pak Yudi.
Aisya, gadis itu menatapku polos. Sejak tadi angannya memainkan ujung kerudungnya. Umurnya sekitar 15 tahunan, sejak tadi dia tampak ketakutan. Akhirnya aku luluh juga, tatapan matanya mampu mencairkan hatiku.
“Ya sudah, aku akan berusaha menjaganya,” ujarku akhirnya.
“Kalau begitu bapak pergi dulu, besok kamu bisa langsung ke kantor papamu”.
Aku mengangguk, menatap pilu kepergian pak Yudi. Sekarang tinggal aku dan gadis itu. Dia menatapku takut-takut. Kuhempaskan badanku di sofa yang ada di ruang tamu rumah ini. Sungguh, aku syok dengan kenyataan ini. Aisya masih berdiri di sebelahku, tangannya masih memainkan ujung kerudungnya.
“Kamu bisa berhenti memainkan ujung kerudungmu itu!” bentakku.
             Dia tampak terkejut dan langsung menghentikan gerakannya. Dia semakin terlihat ketakutan.
“Baik, kamar kamu di sana,” tunjukku pada sebuah kamar yang ada tepat di bawah tangga,”Kamu bisa beristirahat di sana”
Dia mengangguk dan dengan segera berjalan menuju kamar itu. Aku sengaja memberikan kamar itu untuknya, biar dia tidak terlalu ngelunjak di sini. Hatiku benar-benar sakit, tidak kusangka papa bermain di belakang mama. Sungguh hebat, 15 tahun usia gadis itu, sampai akhir hayatnya pun mama tidak mengetahui kehadirannya. Aku sungguh tidak bisa memaafkan hal ini. Tidak terasa air mataku menetes, mengapa cobaan ini terasa begitu berat bagiku?
***
Aku terdiam di meja makan, begitupun dengan Aisya. Dia masih tampak takut-takut menggigit roti di tangannya.
“Ini handphone untukmu,” ujarku dingin,”Aku akan mengantarmu ke sekolah pagi ini, nanti kalau kau sudah mau pulang kau bisa menghubungiku,” lanjutku.
Aisya mengangguk, tangannya bergetar menerima barang pemberianku.
Aku diam sepanjang perjalanan, begitupun dengan Aisya. Dia hanya menunduk, sementara aku fokus pada jalan. Aku sungguh tak berminat untuk mengobrol dengannya.
Akhirnya sampai juga di depan pintu gerbang sekolahnya. Aku diam tak bergeming.
“Makasih kak...Sya senang kakak mau mengantar Sya ke sekolah,” ujarnya lirih dan berlalu dari hadapanku.
Sepanjang perjalanan ke kantor aku termenung mengingat ucapannya tadi. ‘Kakak’, sebuah kata yang aneh menurutku. Bertahun-tahun aku hidup sebagai anak tunggal dan sekarang aku menjadi kakak, jujur aku masih belum mampu menerima semua ini.
Pak Yudi menyambutku dengan sumringah. Dengan sigap dia langsung memperkenalkanku sebagai pengganti papa kepada semua karyawan. Hampir saja titik-titik bening meluncur dari pelupuk mataku, untung saja aku masih bisa menahannya. Sekarang aku benar-benar merasa sendiri.
***
Aku tidak tahu apakah papa bangga padaku atau tidak, sekarang aku terdiam di dalam kantornya. Duduk di kursi yang biasa didudukinya. Memang masih asing bagiku, entah sampai kapan aku akan bisa bertahan.
Lamunanku tentang papa terpecah oleh getaran handphone di saku blazerku. Segera kuambil, sebuah pesan. Ternyata dari gadis itu, dia sudah mau pulang. Kulirik jam di pergelangan tanganku, sebentar lagi memang istirahat siang. Kutarik napas panjang, semoga aku bisa mengahadapi semua ini.
***
Kuperhatikan setiap anak yang keluar dari pintu gerbang itu. Belum kulihat batang hidung Aisya. Kesabaranku hampir habis, tadi dia bilang akan pulang. Sudah sepuluh menit aku menunggu di sini, tampaknya dia mau mempermainkanku. Akhirnya kuputuskan untuk pergi saja dari tempat itu, sekedar memberi pelajaran untuk gadis yang tidak tahu berterima kasih itu.
Hampir gelap aku baru menginjakkan kaki di rumah. Sepi, apakah Aisya belum pulang? Rasa khawatir hinggap di hatiku. Walaupun dia saudara tiriku, tapi dia tetaplah tanggung jawabku.
Kubuka pintu kamarnya. Kosong, keringat dingin mulai kurasakan. Kemana dia? Apakah dia belum pulang? Aku mulai kebingungan.
Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya. Setengah berlari aku masuk ke dalam mobil. Tapi, kemana aku harus mencarinya? Tidak satupun nomor temannya yang kupunya. Rasa kesal itu akhirnya sampai ke ubun-ubunku. Mengapa dia harus bersamaku? Sekarang dia menjadi masalah bagiku.
Akhirnya kuputuskan untuk mencari di sekitar sekolahannya. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku lumayan khawatir, karena kurasa dia belum terlalu mengenal daerah ini.
Kuperhatikan setiap detil yang kulalui menjelang ke sekolah Aisya. Tapi, wajahnya belum juga kutemukan. Sekarang aku tepat berhenti di depan sekolahnya. Kulihat sekeliling, bola mataku berputar-putar mencari sosoknya.
Lama juga aku memperhatikan tempat ini, hingga akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah halte yang berada tidak jauh dari pintu gerbang sekolah. Kulihat di sana sesosok gadis berjilbab bertopang dagu, ada gurat kecemasan di wajahnya.
Setengah berlari kuhampiri dia...
“Aisya!Panggilku setengah berteriak.
Mata beningnya beralih menatapku. Entah kekuatan apa yang membuatnya berlari dan langsung memelukku. Kontan saja aku terkejut dan berusaha melepasakn pelukannya.
“Kau kemana saja?” Tanyaku setengah membentak.
Dia tampak ketakutan, kulihat selaksa bening yang mengalir dari pelupuk matanya.
Kuatur napasaku, kocoba untuk bertanya dengan lebih lembut.
“Dari tadi siang aku menunggumu di sini”
Dia masih tampak ketakutan. Tapi, bibir mungil itu akhirnya mengeluarkan suara juga.
“Ma...Maaf kak, tadi Sya dipanggil kepala sekolah dulu jadi agak terlambat keluarnya, sebenarnya tadi siang Sya sudah berusa memanggil kakak, tapi mobil kakak pergi begitu cepat,” ujarnya menjelaskan dengan suara serak.
Aku termenung. Hening...jadi dari tadi siang dia menungguku di sini. Kuperhatikan wajahnya, pucat. Kurasa dia belum makan apa-apa, terlihat gurat kelelahan di sana. Hatiku yang sempat kesal perlahan mencair melihatnya.
Lama aku menatapnya hingga kemudian secara refleks aku memeluknya. Dia terisak dalam pelukanku. Kurasakan kehangatan di sini.
“Seharusnya tadi kau menelepon kakak...,” ujarku akhirnya.
Entah kenapa aku mulai suka dengan kata-kata itu. Panggilan kakak, aku mulai merasakan kedamaian dengannya.
Di tengah isakannya dia berkata,”Sya takut kak, takut kalau kakak marah. Makanya Sya tidak berani menghubungi kakak. Sya bingung, akhirnya sya hanya duduk saja di halte itu”
Oh adikku...maafkanlah kakakmu ini, ujarku dalam hati. Es itu perlahan-lahan mencair. Kepolosan wajah Aisya akhirnya mampu meluluhkan hatiku.
Tak terasa azan maghrib berkumandang saat kami masih terdiam dalam keheningan di depan sekolah Aisya.
Allahuakbar...Allahuakbar.
Kubimbing dia ke mobil.
“Kau pasti belum makan dari tadi siang.
Dia menggeleng.
“Kita sholat dulu ya, setelah itu baru makan malam,” ujarku.
Dia mengangguk polos. Oh adikku...
***
Setengah terisak aku bermunajat di sebuah mushola. Tidak jauh dari sekolah Aisya. Di sampingku, Aisya pun tampak kusyu’ berdo’a. Kurasakan cahaya-Nya di sela-sela kehidupanku sekarang. Teringat aku akan kelalaian yang telah kulakukan dahulu, mungkin cobaan yang datang padaku adalah sebuah teguran dari-Nya. Aku berjanji akan mulai memperbaiki diri mulai saat ini.
Kucoba untuk mengurai senyum pada Aisya. Awalnya memang terasa canggung, tapi senyum balasan yang tulus darinya membuatku yakin, aku mulai menyukainya.
“Sekarang kita makan ya! Kau pasti lapar,” ujarku
Aisya mengangguk. Raut ketakutan perlahan hilang dari wajahnya.
Kami masuk ke sebuah restoran. Kupesan makanan terenak yang ada di sini untuk membayar kelalaianku siang tadi.
Aisya tampak malu-malu memakan makanan yang sudah tersaji di hadapan kami.
“Kenapa tidak dimakan?” Tanyaku berusaha seramah mungkin.
Dia tersenyum kecil.
Tangannya mulai bergerak mengambil setiap makanan yang ada. Kutatap matanya, ada tatapan ketulusan di sana. Perlahan kupegang tangan Aisya.
“Maafkan kakak ya!Ujarku.
Dia tampak termenung melihatku.
“Maafkan kakak, mulai besok kakak janji akan menunggu sampai kau benar-benar keluar dari sekolah,” lanjutku.
Aisya terisak kembali.
“Kak...terima kasih,kata-kata itu begitu indah terdengar.
Aku tersenyum.
“Terima kasih karena sudah mau menjadi kakak untuk Sya, akhirnya Sya tidak sendiri lagi.
Kupeluk dia dengan tulus.
“Iya dik, terima kasih juga karena sudah mau menjadi adik kakak yang manis,” ujarku.
Akhirnya senyum lebar tersungging dari bibirnya. Terima kasih Tuhan karena sudah memberikan kado terindah untukku.
[ Read More ]